Kamis, 10 Januari 2013

sejarah jawa

 SEJARAH JAWA


Akar peradaban Jawa berawal dari Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat (4Ms) dan Kerajaan Kanjuruhan (6Ms) di Jawa Timur. Dua kerajaan tertua di Jawa ini selanjutnya diikuti oleh lahirnya sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Mataram Kuno (Wangsa Syailendra dan Sanjaya) di Jawa Tengah (8Ms) yang telah melahirkan sebuah karya agung Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Pada masa itu betapa kita telah disuguhi teknologi arsitektur luar biasa dan suasana harmonis masyarakat yang plural (Hindu - Budha). Saya meyakini bahwa di dalam “layout” Candi Borobudur tersimpan rahasia “cakra bumi”, semacam penyeimbang alam Pulau Jawa untuk mereduksi ketimpangan energi yang dapat berakibat bencana alam. Sedangkan kawasan Candi Prambanan masih menyisakan misteri tingginya peradaban kerajaan Ratu Boko.
Peradaban “tengah” pun berpindah ke “timur” menjadi Kerajaan Medang (10Ms) yang dipimpin oleh Mpu Sindok. Era ini telah menjadi titik balik bangkitnya kerajaan-kerajaan Jawa Timur, yaitu Kadiri dan Jenggala (11Ms), Singhasari dan Majapahit (13Ms). Secara khusus perihal Kerajaan Majapahit, Kitab Negarakertagama telah merekam betapa teratur dan tingginya peradaban Majapahit. Bahasa Sanskrit yang digunakan pada masa itu adalah bahasa yang mencerminkan budaya masyarakat yang sangat tinggi. Lambang “Surya Majapahit” mencerminkan suatu “cakra bumi” yang menjaga Pulau Jawa dan Nusantara secara keseluruhan agar tetap harmoni. Ini adalah suatu bentuk teknologi masa lalu yang masih belum terpecahkan hingga kini. Armada laut Majapahit pada masa Patih Gajah Mada adalah yang terbaik di Asia Tenggara. Itu bukan omong kosong karena terbukti armada China tidak pernah mampu menembus Asia Tenggara, padahal Eropa saja mampu mereka taklukkan.
Kehancuran Majapahit selain karena faktor kegagalan suksesi adalah faktor pemberontakan Kerajaan Demak oleh Raden Patah (Jim Bun), putera Prabu Brawijaya V dengan Putri China pada tahun 1478 atau 1400 Saka (Sirna Ilang Kertaning Bumi). Tidak dapat dipungkiri bahwa peran Walisanga, para ulama dari negeri China, khususnya Sunan Giri Kedaton amatlah besar dalam mendirikan dan membesarkan Demak. Kata Walisanga yang selama ini diartikan sembilan (sanga) wali, ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa kata ‘sanga‘ berasal dari kata ‘tsana‘ dari bahasa Arab, yang berarti mulia, yang di-gothak-gathuk menjadi “songo” (sembilan) dalam Bahasa Jawa. Sedangkan kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisanga, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su‘ dan ‘Nan‘, kependekan dari kata ‘Suhu’ yang berarti guru atau wali mazhab Hanafi dan ‘Nan’ yang berarti berarti selatan atau Tiongkok Selatan (Champa).
Fenomena runtuhnya satu kerajaan besar dan berganti dengan kerajaan besar lainnya adalah hal yang biasa terjadi dalam suatu peradaban masyarakat. Namun yang terjadi antara Majapahit vs Demak adalah sesuatu yang berbeda. Serat Darmogandhul menuliskan sebuah sindiran yang menyiratkan adanya suatu gerakan “pemusnahan” mutiara-mutiara budaya lokal berganti dengan budaya ke-arab-an. Pemusnahan ini oleh para Walisanga diterapkan dalam dua cara yang berbeda, yang satu secara paksa dan cara lainnya adalah secara halus. Dua cara yang berbeda ini bahkan memicu pertentangan di kubu Walisanga sendiri, khususnya Sunan Giri (Putihan) dan Sunan Kalijaga (Abangan).
Saya tidak ingin membuat justifikasi motif Sunan Kalijaga dalam mengembangkan syiar dengan menggunakan cara asimilasi budaya-budaya lokal, namun dalam kenyataannya, banyak sekali warisan budaya terdahulu yang dirubah dan diberi label baru. Dan perlahan namun pasti, cara ini telah menghasilkan suatu degradasi budaya yang signifikan. Dalam perkembangan era pasca Demak, degradasi budaya terus berlangsung satu per satu. Mulai dari bergantinya penggunaan Bahasa Sanskrit menjadi Bahasa Kawi dan lalu menurun lagi menjadi Bahasa Jawa. Kesenian arsitektur seperti teknologi sekelas candi pun hilang tak berbekas berganti dengan gaya arsitektur “joglo”, dan yang lebih parah adalah ajaran-ajaran dan falsafah Jawadwipa yang teramat dalam, berganti menjadi falsafah Jawa baru yang kian memasung kebebasan spiritualitas.
Dalam era Kesultanan Mataram Islam (17Ms), Panembahan Senopati telah melahirkan suatu “budaya baru” yang saya sebut “sakralisasi mitologi keraton”. Demi memperoleh dan melanggengkan kekuasaan, Panembahan Senopati mengkonstruksi berbagai mitologi-mitologi Jawa yang dapat digunakan untuk menambah efek “sakral” dalam entitas keraton. Beberapa yang pengaruhnya masih kuat hingga sekarang adalah mitos Ratu Kidul dan Eyang Merapi. Sebenarnya kultur mistik atau mitologi semacam ini sudah ada sejak dulu dalam bentang peradaban Jawa, namun dunia mistik tidak dipandang sebagai sesuatu yang “menakutkan” bagi masyarakat awam, misalnya pada jaman Mataram Kuno maupun Majapahit, sosok makhluk “asura” atau “dwarapala” atau semacam bangsa jin, dipandang biasa-biasa saja. Patung-patung dwarapala dengan taring panjang dan mata mendelik adalah pemandangan yang biasa. Contoh lain adalah senjata keris yang dipandang lebih objektif pada masa Jawa Kuno, tetapi menjadi barang sakral pada era Jawa Baru. Masyarakat Jawa menjadi kian terpasung oleh sakralisasi mitologi, apalagi sakralisasi segala yang berhubungan entitas keraton. Sakralisasi budaya keraton menjadi semacam agen kekuasaan dan status quo.
Kultur sakralisasi mitologi keraton, ibarat memiliki dampak “bola salju” yang menggelinding dalam masyarakat Jawa, menyebar dari Jawa Tengah (Mataraman) hingga ke pelosok-pelosok Jawa Timur dan Jawa Barat. Kultur inilah yang ditangkap oleh pemerintah kolonial dan digunakan sebagai senjata untuk membodohi rakyat pribumi dengan berbagai tahayul-tahayul yang berkembang turun temurun hingga hari ini. Wajah peradaban Jawa yang dulunya sarat dengan nilai-nilai spiritualitas, pun kian terdegradasi dengan citra perklenikan dan perdukunan.
Bagaimanapun lekuk-lekuk budaya dalam suatu peradaban adalah fenomena yang wajar, namun adalah menjadi tidak wajar bila budaya itu menjadi “mandeg” dan tidak lagi dinamis. Artinya masyarakat dibelenggu oleh budaya sehingga ia tidak mampu lagi menghasilkan budaya yang lebih baik. Pada saat itulah degradasi kualitas peradaban terjadi secara pasti. Siapapun tokoh pendahulu kita, Gajah Mada, Prabu Jayabaya, Prabu Siliwangi, Panembahan Senopati hanyalah pemain-pemain peradaban pada era mereka dengan segala pernak-pernik hitam dan putih. Maka tentu tidak bijaksana bila kita menjustifikasi secara hitam putih bahwa kondisi bangsa kita hari ini adalah akibat jasa mereka atau akibat kesalahan mereka.
Sebagai sebuah bangsa yang bermartabat dan dinamis, maka seharusnya kita mampu memainkan budaya-nya secara kontekstual untuk menjawab kebutuhan kekinian. Dan dalam pendapat saya, kebutuhan bangsa kita hari ini adalah melakukan “DESAKRALISASI MITOLOGI”, baik desakralisasi terhadap segala macam tahayul-tahayul dan adat-adat yang tidak kontekstual, maupun desakralisasi terhadap praktik beragama yang dogmatis. Ini bukan berarti meninggalkan atau menghapuskan adat dan dogma agama dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi masalahnya adalah bagaimana menafsirkannya secara kontekstual.
Rahayu-rahayu, memayu hayuning bawana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar