SEJARAH JAWA
Akar peradaban Jawa berawal dari Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat (4Ms) dan Kerajaan Kanjuruhan (6Ms) di Jawa
Timur. Dua kerajaan tertua di Jawa ini selanjutnya diikuti oleh lahirnya
sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Mataram Kuno (Wangsa Syailendra
dan Sanjaya) di Jawa Tengah (8Ms) yang telah melahirkan sebuah karya
agung Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Pada masa itu betapa kita
telah disuguhi teknologi arsitektur luar biasa dan suasana harmonis
masyarakat yang plural (Hindu - Budha). Saya meyakini bahwa di dalam
“layout” Candi Borobudur tersimpan rahasia “cakra bumi”, semacam
penyeimbang alam Pulau Jawa untuk mereduksi ketimpangan energi yang
dapat berakibat bencana alam. Sedangkan kawasan Candi Prambanan masih
menyisakan misteri tingginya peradaban kerajaan Ratu Boko.
Peradaban “tengah” pun berpindah ke “timur”
menjadi Kerajaan Medang (10Ms) yang dipimpin oleh Mpu Sindok. Era ini
telah menjadi titik balik bangkitnya kerajaan-kerajaan Jawa Timur, yaitu
Kadiri dan Jenggala (11Ms), Singhasari dan Majapahit (13Ms). Secara
khusus perihal Kerajaan Majapahit, Kitab Negarakertagama telah merekam
betapa teratur dan tingginya peradaban Majapahit. Bahasa Sanskrit yang
digunakan pada masa itu adalah bahasa yang mencerminkan budaya
masyarakat yang sangat tinggi. Lambang “Surya Majapahit” mencerminkan
suatu “cakra bumi” yang menjaga Pulau Jawa dan Nusantara secara
keseluruhan agar tetap harmoni. Ini adalah suatu bentuk teknologi masa
lalu yang masih belum terpecahkan hingga kini. Armada laut Majapahit
pada masa Patih Gajah Mada adalah yang terbaik di Asia Tenggara. Itu
bukan omong kosong karena terbukti armada China tidak pernah mampu
menembus Asia Tenggara, padahal Eropa saja mampu mereka taklukkan.
Kehancuran Majapahit selain karena faktor
kegagalan suksesi adalah faktor pemberontakan Kerajaan Demak oleh Raden
Patah (Jim Bun), putera Prabu Brawijaya V dengan Putri China pada tahun
1478 atau 1400 Saka (Sirna Ilang Kertaning Bumi). Tidak dapat dipungkiri
bahwa peran Walisanga, para ulama dari negeri China, khususnya Sunan
Giri Kedaton amatlah besar dalam mendirikan dan membesarkan Demak. Kata
Walisanga yang selama ini diartikan sembilan (sanga) wali, ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Sebagian sejarahwan berpendapat bahwa kata ‘sanga‘ berasal dari kata ‘tsana‘
dari bahasa Arab, yang berarti mulia, yang di-gothak-gathuk menjadi
“songo” (sembilan) dalam Bahasa Jawa. Sedangkan kata Sunan yang menjadi
panggilan para anggota Walisanga, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su‘ dan ‘Nan‘,
kependekan dari kata ‘Suhu’ yang berarti guru atau wali mazhab Hanafi
dan ‘Nan’ yang berarti berarti selatan atau Tiongkok Selatan (Champa).
Fenomena runtuhnya satu kerajaan besar dan
berganti dengan kerajaan besar lainnya adalah hal yang biasa terjadi
dalam suatu peradaban masyarakat. Namun yang terjadi antara Majapahit vs
Demak adalah sesuatu yang berbeda. Serat Darmogandhul menuliskan sebuah
sindiran yang menyiratkan adanya suatu gerakan “pemusnahan”
mutiara-mutiara budaya lokal berganti dengan budaya ke-arab-an.
Pemusnahan ini oleh para Walisanga diterapkan dalam dua cara yang
berbeda, yang satu secara paksa dan cara lainnya adalah secara halus.
Dua cara yang berbeda ini bahkan memicu pertentangan di kubu Walisanga
sendiri, khususnya Sunan Giri (Putihan) dan Sunan Kalijaga (Abangan).
Saya tidak ingin membuat justifikasi motif
Sunan Kalijaga dalam mengembangkan syiar dengan menggunakan cara
asimilasi budaya-budaya lokal, namun dalam kenyataannya, banyak sekali
warisan budaya terdahulu yang dirubah dan diberi label baru. Dan
perlahan namun pasti, cara ini telah menghasilkan suatu degradasi budaya
yang signifikan. Dalam perkembangan era pasca Demak, degradasi budaya
terus berlangsung satu per satu. Mulai dari bergantinya penggunaan
Bahasa Sanskrit menjadi Bahasa Kawi dan lalu menurun lagi menjadi Bahasa
Jawa. Kesenian arsitektur seperti teknologi sekelas candi pun hilang
tak berbekas berganti dengan gaya arsitektur “joglo”, dan yang lebih
parah adalah ajaran-ajaran dan falsafah Jawadwipa yang teramat dalam,
berganti menjadi falsafah Jawa baru yang kian memasung kebebasan
spiritualitas.
Dalam era Kesultanan Mataram Islam (17Ms),
Panembahan Senopati telah melahirkan suatu “budaya baru” yang saya sebut
“sakralisasi mitologi keraton”. Demi memperoleh dan melanggengkan
kekuasaan, Panembahan Senopati mengkonstruksi berbagai mitologi-mitologi
Jawa yang dapat digunakan untuk menambah efek “sakral” dalam entitas
keraton. Beberapa yang pengaruhnya masih kuat hingga sekarang adalah
mitos Ratu Kidul dan Eyang Merapi. Sebenarnya kultur mistik atau
mitologi semacam ini sudah ada sejak dulu dalam bentang peradaban Jawa,
namun dunia mistik tidak dipandang sebagai sesuatu yang “menakutkan”
bagi masyarakat awam, misalnya pada jaman Mataram Kuno maupun Majapahit,
sosok makhluk “asura” atau “dwarapala” atau semacam bangsa jin,
dipandang biasa-biasa saja. Patung-patung dwarapala dengan taring
panjang dan mata mendelik adalah pemandangan yang biasa. Contoh lain
adalah senjata keris yang dipandang lebih objektif pada masa Jawa Kuno,
tetapi menjadi barang sakral pada era Jawa Baru. Masyarakat Jawa menjadi
kian terpasung oleh sakralisasi mitologi, apalagi sakralisasi segala
yang berhubungan entitas keraton. Sakralisasi budaya keraton menjadi
semacam agen kekuasaan dan status quo.
Kultur sakralisasi mitologi keraton, ibarat
memiliki dampak “bola salju” yang menggelinding dalam masyarakat Jawa,
menyebar dari Jawa Tengah (Mataraman) hingga ke pelosok-pelosok Jawa
Timur dan Jawa Barat. Kultur inilah yang ditangkap oleh pemerintah
kolonial dan digunakan sebagai senjata untuk membodohi rakyat pribumi
dengan berbagai tahayul-tahayul yang berkembang turun temurun hingga
hari ini. Wajah peradaban Jawa yang dulunya sarat dengan nilai-nilai
spiritualitas, pun kian terdegradasi dengan citra perklenikan dan
perdukunan.
Bagaimanapun lekuk-lekuk budaya dalam suatu
peradaban adalah fenomena yang wajar, namun adalah menjadi tidak wajar
bila budaya itu menjadi “mandeg” dan tidak lagi dinamis. Artinya
masyarakat dibelenggu oleh budaya sehingga ia tidak mampu lagi
menghasilkan budaya yang lebih baik. Pada saat itulah degradasi kualitas
peradaban terjadi secara pasti. Siapapun tokoh pendahulu kita, Gajah
Mada, Prabu Jayabaya, Prabu Siliwangi, Panembahan Senopati hanyalah
pemain-pemain peradaban pada era mereka dengan segala pernak-pernik
hitam dan putih. Maka tentu tidak bijaksana bila kita menjustifikasi
secara hitam putih bahwa kondisi bangsa kita hari ini adalah akibat jasa
mereka atau akibat kesalahan mereka.
Sebagai sebuah bangsa yang bermartabat dan
dinamis, maka seharusnya kita mampu memainkan budaya-nya secara
kontekstual untuk menjawab kebutuhan kekinian. Dan dalam pendapat saya,
kebutuhan bangsa kita hari ini adalah melakukan “DESAKRALISASI
MITOLOGI”, baik desakralisasi terhadap segala macam tahayul-tahayul dan
adat-adat yang tidak kontekstual, maupun desakralisasi terhadap praktik
beragama yang dogmatis. Ini bukan berarti meninggalkan atau menghapuskan
adat dan dogma agama dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi masalahnya
adalah bagaimana menafsirkannya secara kontekstual.
Rahayu-rahayu, memayu hayuning bawana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar